PANGKALPINANG Jurnalsiber.com – Sebuah bayangan kelam mewarnai Pesantren Al Arifin di Pangkalpinang, Bangka Tengah, dengan munculnya kabar dugaan tindak kejahatan pelecehan terhadap seorang mantan santri berusia delapan tahun yang dikenal dengan nama Upin. Namun, cerita ini menjadi semakin kompleks dengan keterangan di antara pihak-pihak terlibat, menciptakan lapisan misteri yang perlu diungkap. Sabtu (27/1/2024).
Berawal dari laporan kejadian dugaan pelecehan seksual yang diajukan oleh mantan asisten pribadi Upin, pengurus Pesantren Al Arifin, Lingkungan Tayib, Kelurahan Dul, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, menunjukkan ketidaksesuaian keterangan yang sebenar kejadiannya.
Abdul Rahman alias Sahdur, salah satu pengurus pesantren, membantah adanya kejadian tersebut. Menurutnya, laporan kejadian baru dilaporkan setelah Upin pindah sekolah ke Jakarta selama lebih dari enam bulan.
“Sekolah tersebut setiap hari diantar jemput oleh sang kakek, baik pergi maupun pulang sekolah, dan Upin tinggal bersama sang kakek atau berdomisili di lingkungan Dul,” ungkap Ani, kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pesantren Al Arifin.
Ani juga mencatat bahwa Upin adalah seorang anak yang pendiam, dan menambahkan bahwa kakak kandung Upin, yang berbeda ayah, pernah mondok di pesantren namun kemudian dikeluarkan karena perilakunya dianggap melebihi batas kewajaran, yang tidak pantasan untuk di uraikan dalam narasi berita.
Namun, Ustad Ahmad Zaini, pimpinan Pesantren Al Arifin, mengakui bahwa pihaknya sempat melakukan pemeriksaan internal dan sidang untuk menelusuri kabar terkait dugaan tindak kejahatan terhadap Upin. Namun, hasilnya belum menemukan bukti yang cukup kuat untuk mendukung klaim tersebut.
Di pihak lain, ibu kandung Upin, Ni, memberikan konfirmasi terkait kejadian tersebut. Meski awalnya enggan memberikan keterangan lebih lanjut, Ni akhirnya mengakui bahwa putranya menjadi korban dan menyebut memiliki bukti lengkap dari forensik di Jakarta.
Namun, ia mengecapi kesulitan menjelaskan motif laporan setelah putranya pindah sekolah, serta ketidaksetujuan dan ketidakpercayaan pihak pesantren terhadap laporan tersebut.
Muncul pertanyaan etika dalam penanganan kasus ini, terutama dalam hal komunikasi antara pihak pesantren, orang tua Upin, dan pihak berwenang.
Pengurus pesantren menyesalkan cara Ni mengajukan laporan tanpa memberi tahu mereka lebih dulu dan merasa dikecewakan karena laporan tersebut hanya disampaikan melalui telepon seluler.
Kasus ini semakin terkomplekskan dengan kondisi fisik Upin yang mengalami pembengkakan parah pada alat kelaminnya. Meskipun belum diketahui pasti siapa pelaku tindak kejahatan ini, penyidikan sedang berlangsung oleh pihak kepolisian.
Dalam mengungkap misteri ini, keterbukaan, etika komunikasi, dan keadilan harus dikedepankan. Harapan untuk mengungkap kebenaran dan menjalankan proses hukum dengan transparan harus menjadi prioritas.
Meskipun sejumlah pertanyaan masih menggantung, jurnalis dan masyarakat perlu bersatu untuk mendukung pencarian kebenaran dan keadilan bagi Upin, agar kasus ini menjadi pelajaran berharga dan mencegah kejadian serupa di masa depan. (Penulis : Angga, Editor : Dwi Frasetio)