SEPERTI TAK BERJEDAH pemberitaan di sejumlah media massa seputar perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) tata kelola pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hingga kasus ini pun menyeret sejumlah mantan pejabat tinggi PT Timah tak terkecuali mantan Direktur Utama (Dirut) PT Timah, M Reza Fahlevi kini telah berstatus sebagai satu dari 14 orang tersangka.
Viralnya pemberitaan kasus dugaan tipikor ini pun akhirnya menyita perhatian sebagian besar kalangan masyarakat di Bangka Belitung termasuk masyarakat petambang biji timah maupun segelintir pengamat hukum di Bangka Belitung.
Terlebih lagi sejumlah nama-nama para pengusaha lokal ternama pun ikut terseret dalam ‘Black Circle’ hingga disebut-sebut Mafia Tambang termasuk si ‘Crazy Rich’ PIK (Helena Lim) kini masuk pula dalam lingkaran kasus ini hingga tak ayal kasus diduga merugikan keuangan negara mencapai Rp 271 triliun ini pun jadi perbincangan ‘hangat’ di sejumlah warung atau pun kedai-kedai kopi di Bangka Belitung.
Tak dipungkiri, penulis pun sempat pula menikmati’ obrolan hangat seputar kasus korupsi pertimahan ini di salah satu kedai kopi di Kota Pangkal Pinang. Saat itu sempat terdengar ‘celetukan’ dari salah seorang pengunjung kedai kopi, sebut saja namanya ‘Badu (maaf hanya perumpamaan sebutan nama saja).
“Mending begawe (lebih baik nambang biji timah – red) yang resmi bailah (saja – red). Tuh liet (lihat – red) sekelas Bos Aon (Tamron – red) kinik (sekarang – red) terseret persoalan hukum jadi tersangka, ape agik (apalagi — red) kite orang kecit nih pacak makin saro idup (kita orang kecil ini makin susah hidup – red),” ucap Badu bermaksud mengingatkan sahabatnya diketahuinya sebagai ‘Player’ timah di pulau Bangka.
Namun sahabatnya sebut saja Asbun, kala itu justru tak mengamini pernyataan si Badu. Sebaliknya, jawaban yang dilontarkan sahabatnya itu terkesan sangat bertolak belakang. “Ah asak ade (Ah kalau ada uang — red) perkara pacak (bisa – red) tuntas,” seloroh sahabatnya. Mendengar omongan nyeleneh sahabatnya itu Badu pun seketika terdiam tak banyak bicara.
Jawaban Badu pun spontan menjadi perhatian penulis lantaran cukup ‘menggelitik’ hati. Meski begitu penulis sempat berpikir sesaat dalam hati kecil ‘apa iya seperti itu?’. Ah! abaikan saja pernyataan konyol si Asbun ini.
Sebaliknya ada sisi lain yang lebih menarik lagi dalam perkara dugaan tipikor tata kelola pertimahan dan kini sedang ditangani pihak kejaksaan. Dalam kasus ini ada hal yang menarik lagi menurut penulis perlu untuk ‘diulas’ atau pun dibahas khususnya persoalan status atau legalitas PT Timah kini diketahui selaku anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
* PT Timah Anak BUMN Terdakwa Divonis Bebas Hakim
Bila mencermati perkara dugaan tipikor kali ini pihak Kejagung RI pun kini telah menetapkan sedikitnya 14 orang tersangka dalam kasus tata kelola pertimahan di Bangka Belitung, lantas! apa mungkin jika perkara ini naik ke meja hijau (pengadilan) dan para tersangka bakal menyandang status sebagai terdakwa/narapidana atau sebaliknya berujung divonis ‘bebas’?.
Kasus ini pun mengingatkan kembali penulis pada penanganan perkara kasus serupa yakni dugaan korupsi di tubuh PT Timah pada tahun 2021 lalu yakni kasus penyimpangan pembelian biji timah kadar rendah atau sisa hasil produksi (SHP) berupa Terak, hingga negara pun diduga dirugikan senilai Rp 8,4 Milyar.
Dalam perkara ini menyeret seorang pejabat PT Timah atau mantan Kepala Unit Penambangan Laut Bangka (UPLB), Ali Samsuri dan seorang pengusaha timah asal Bangka Barat, Agustino alias Agat (pemasok SHP) termasuk direktur CV Mentari Bangka Sukses Tayudi alias Ajang pun sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung.
Miris, ketika perkara ini naik di persidangan (Pengadilan Negeri Pangkalpinang), majelis hakim pengadilan setempat di momen agenda putusan perkara justru memvonis bebas para terdakwa (Ali Samsuri, Agat & Tayudi). Akibatnya, publik pun berasumsi negatif terhadap putusan hakim tersebut.
Dalam putusan tersebut majelis hakim yang diketuai Efendi SH bersama dua orang anggotanya Siti Hajar SH dan Erizal SH berpendapat jika PT Timah bukan merupakan BUMN meski sebagai anak perusahaan dari PT Inalum, meski kerugian negara awal diduga mencapai puluhan milyar itu justru dianggap majelis hakim bukanlah kerugian negara.
Putusan majelis hakim ini pun, Selasa (25/5/2021) akhirnya menuai sorotan sejumlah kalangan pengamat hukum termasuk pegiat anti korupsi di Bangka Belitung pasca viralnya pemberitaan ‘Majelis Hakim Vonis Bebas Terdakwa Kasus Pembelian SHP PT Timah’ di sejumlah media lokal.
Pendapat majelis hakim pun jelas berseberangan dengan pendapat dari seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU), Benny Harkat SH hingga akhirnya pasca vonis bebas disikapi dengan upaya kasasi oleh JPU terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Pangkalpinang, namun tak disangka majelis hakim Mahkamah Agung (MA) justru ‘menyelamatkan’ nasib dua terdakwa yakni Agat dan Ali Samsuri terkecuali Tayudi harus menjalani sanksi hukuman penjara selama 5 tahun lantaran dinyatakan bersalah.
Dari uraian singkat kasus korupsi di atas justru yang menjadi pemikiran penulis saat ini ‘Apakah Nasib Tersangka Korupsi Tata Kelola Pertimahan Bakal Serupa Ali & Agat?’. Ali Samsuri dan Agat sebelumnya berstatus terdakwa malah akhirnya bebas dari sanksi hukum pidana lantaran hakim berpendapat jika status PT Timah merupakan anak perusahaan BUMN (PT Inalum) dan bukan BUMN, artinya hakim berpendapat dalam kasus ini tidak ada kerugian keuangan negara.
Nah, jika mengutip Pengertian dari Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) bahwa badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa yang disebut BUMN adalah perusahaan yang modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung. Selanjutnya, yang dimaksud dengan Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (Pasal 1 angka 2 UU BUMN).
Adapun pengertian dari anak perusahaan BUMN diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permeneg BUMN 3/2012”).
Di dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012 dijelaskan bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN. Jadi berdasarkan uraian di atas kiranya jelas bahwa anak perusahaan BUMN (termasuk BUMN Persero) tidak termasuk BUMN karena sahamnya tidak dimiliki oleh negara, tetapi oleh BUMN.
Putusan MA 21P/HUM/2017 berpendapat bahwa bentuk BUMN yang membentuk anak usaha BUMN tidak menyebabkan anak usaha BUMN itu berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa, namun tetap menjadi BUMN. Namun demikian, Putusan MK 01/2019 Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat yang berbeda dengan menyatakan anak perusahaan BUMN tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan tetap berstatus sebagai anak perusahaan BUMN (Perseroan Terbatas biasa) karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN.
Konflik atau pro-kontra mengenai kepastian kedudukan kedudukan hukum anak perusahaan BUMN hingga kini belum dipastikan secara jelas sehingga menimbulkan multitafsir. Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : 03/MBU/2012 dijelaskan bahwa anak perusahaan BUMN yang selanjutnya Anak Perusahaan adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN. Sehingga Hakim pun dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum.
Apapun ragam pendapat tersebut dalam hal ini, menurut penulis sangat wajar memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada institusi Adhiyaksa (Kejaksaan) dalam upaya menindak tegas para koruptor yang merampok uang negara alias uang rakyat di negeri ini. Tanpa tawar-nenawar penulis mengaku bangga dan salut atas kinerja korp Kejaksaan di Bumi Serumpun Sebalai’ ini. Bravo for Adhiyaksa! (Redaksi KBO Babel)