JURNALSIBER.COM , BANGKA TENGAH –Tim Gabungan yang terdiri dari Polres Bangka Tengah, Polsek Koba, Satuan Pol PP, Divisi Keamanan PT Timah Tbk dan instansi pemerintah terkait melakukan penertiban penambangan tanpa izin di kawasan Punguk-Kenari-Marbuk atau bekas lahan eks PT Koba Tin.Selasa,Siang(21 /05/2024)
Baru saja dilakukan penertiban penambangan tanpa izin di kawasan Pungu-Kenari-Marbuk atau dikenal bekas lahan eks PT Koba Tin, Sekarang kegiatan penambangan di lahan eks PT Koba Tin kembali beraktivitas pada hal terbentang lebaran larangan melakukan giat aktivitas di kawasan tersebut. Seakan kebal hukum atau adanya seseorang yang berpengaruh sehingga membuat APH setempat tidak berkutik.Sabtu(1/06/2024)
Giat Aktivitas penambangan di kawasan eks PT Koba Tin tersebut berdalih bahwa aktivitas penambangan tersebut mengatasnamakan warga atau masyarakat setempat dengan membantu dalam Kegiatan sosial atau pun keagamaan tetapi yang terjadi tak sesuai dengan yang terjadi,jangankan mau membantu warga atau masyarakat, bahkan banyak warga yang antri berharap mendapatkan cantingan namun tidak mendapatkan apa pun yang menjadi harapan para warga,bahkan salah satu ibu-ibu warga setempat mau meminta cantingan pun tak mendapat apa pun,Zonk hari ni,Ti bai lah, umat e beratus,ni baru ngerakit pulik,ungkap ibu- ibu yang berbaju kuning yang sempat di video oleh awak media.
“Zonk hari ni,Ti bai lah, umat e beratus,ni baru ngerakit pulik,”ungkap ibu-ibu yang berbaju kuning
Marbuk merupakan kawasan pertambangan pertambangan timah sampai saat ini secara legalitas masih menjadi milik PT Koba Tin yang sudah ditinggalkan sejak lama.
Kawasan tersebut sengaja “diisolasi” dari kegiatan penambangan timah, karena secara tata ruang kota sangat rawan untuk dieksploitasi karena dampaknya membuat Kelurahan Berok terancam tenggelam akibat banjir bandang.
Kawasan Marbuk, Kinari, dan Pungguk merupakan lokasi yang memiliki cadangan timah cukup tinggi, namun berada di titik nol Kecamatan Koba dan menjadi daerah resapan air.
Pertambangan Tanpa Izin melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pertambangan Tanpa Izin melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu konflik horizontal di dalam masyarakat,
Selain itu, PETI juga mengabaikan kewajiban, baik terhadap Negara maupun masyarakat terhadap sekitar. “Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk pada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya,” ujar Sunindyo.
Menghadapi PETI, pemerintah melakukan upaya penindakan dengan inventarisasi lokasi PETI, penataan wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah Daerah, hingga upaya penegakan hukum.
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara yang diatur dalam pasal 160.
Dalam pasal 161 juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau konservasi, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik penambangan ilegal ini bukan lain disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari penggunaan PETI, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak sosial dari kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran udara.
Penerapan PETI juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti penggunaan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD), tidak adanya ventilasi udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang bawah tanah.
Perihal kegiatan aktivitas penambangan di kawasan lahan eks PT Koba Tin awak media melakukan upaya konfirmasi kepada Kapolres Bangka Tengah terkait giat aktivitas penambangan tanpa izin tersebut,namun sangat di Sesalkan Hingga pemberitaan ini dipublikasi, Kapolres Bangka Tengah bungkam dan tidak ada respon apapun atas konfirmasi yang dikirim awak media melalui pesan whastapp , Pada hal pesan singkat whastapp yang di kirim tertanda centang dua dan bewarna biru artinya telah di buka dan dibaca oleh Kapolres.
Kapolres Bangka Tengah tidak dapat memahami Pasal 28F UUD 1945. Jangankan wartawan, masyarakat dan rakyat se-Indonesia ini punya hak untuk mendapatkan informasi. Dipertegas juga dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. (Penulis :Sudarsono)