BANGKA TENGAH Jurnalsiber.com – Penertiban tambang liar oleh tim gabungan yang terdiri dari Polres Bangka Tengah, Polsek Koba, Satuan Pol PP, Divisi Keamanan PT Timah Tbk, dan instansi terkait lainnya di lahan eks PT Kobatin kawasan Punguk Kenari Merbuk, Kecamatan Koba, pada Selasa, 21 Mei 2024, tampaknya belum memberikan efek jera. Minggu (2/6/2024).
Meskipun baru saja dilakukan penertiban, ratusan Ponton Isap Produksi (PIP) atau Ponton Tambang Inkonvensional (TI) Apung Rajuk kembali beraktivitas di area tersebut, mengabaikan spanduk larangan yang telah dipasang.
Lahan eks PT Koba Tin adalah wilayah pencadangan negara (WPN) yang sudah mendapatkan persetujuan pemerintah pusat untuk eksploitasi penambangan oleh PT Timah Tbk.
Namun, penambang ilegal tetap beroperasi dengan dalih membantu perekonomian masyarakat setempat.
Ironisnya, aktivitas penambangan ini tidak memberikan manfaat yang diharapkan oleh warga.
Salah satu warga setempat, AN, seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan kekecewaannya. “Padahal ada ratusan Ti Rajuk yang menambang, sebutir timah pun kami tidak ada dari pemilik Ti Rajuk, katanya zonk (nihil-red), dan lihatlah sendiri hari ini ada beberapa yang baru merakit Ti Rajuk,” ujarnya kepada wartawan KBO.
Kegiatan tambang liar ini diduga dikoordinir oleh oknum ormas, aparat penegak hukum, dan oknum berseragam.
Berdasarkan informasi yang dihimpun jejaring media KBO Babel, beberapa ponton Ti Rajuk dikoordinir oleh RI, seorang warga Berok yang merupakan anggota ormas.
“Ada puluhan Ponton Ti Rajuk yang dikoordinir oleh RI warga Berok anggota Ormas PP dan hasil pasur timah yang tampung, ada pula yang dikoordinir oknum APH tapi kami kurang tahu nama bapak itu,” ungkap narasumber yang meminta namanya tidak disebutkan.
Kawasan Punguk Kenari Merbuk adalah wilayah dengan cadangan timah tinggi dan merupakan daerah resapan air yang rawan dieksploitasi.
Aktivitas penambangan tanpa perencanaan yang baik dapat mengancam wilayah tersebut, termasuk Kelurahan Berok, yang berisiko mengalami banjir bandang.
Penambangan tanpa izin (PETI) melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut pasal 158 UU tersebut, orang yang melakukan penambangan tanpa izin bisa dipidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Selain itu, aktivitas penambangan tanpa izin juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan memicu konflik sosial di masyarakat.
Sunindyo, seorang ahli hukum pertambangan, menegaskan bahwa PETI tidak hanya merugikan negara tetapi juga mengabaikan kewajiban terhadap masyarakat sekitar.
“PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu konflik horizontal di dalam masyarakat. Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk pada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya,” jelasnya.
Dampak sosial dari PETI antara lain menghambat pembangunan daerah, memicu konflik sosial, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, dan meningkatkan risiko kesehatan akibat paparan bahan kimia.
Dari sisi lingkungan, PETI merusak hutan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta mencemari sungai dan udara.
Penerapan PETI juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak pelanggaran seperti penggunaan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pelindung diri (APD), serta kurangnya ventilasi dan penyanggaan pada tambang bawah tanah.
Meski pemerintah melakukan upaya penindakan dengan inventarisasi lokasi PETI, penataan wilayah pertambangan, dan penegakan hukum, efektivitasnya masih dipertanyakan.
Hal ini tercermin dari kembalinya aktivitas tambang ilegal di kawasan Punguk Kenari Merbuk meski sudah dilakukan penertiban.
Jejaring media KBO Babel mencoba mengonfirmasi aktivitas tambang timah ilegal ini kepada Kapolres Bangka Tengah, namun tidak mendapat respon.
Pesan singkat WhatsApp yang dikirim sudah terbaca namun tidak dibalas. Sikap ini menunjukkan kurangnya keterbukaan informasi dari pihak berwenang, yang bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ketua LSM Anti Korupsi Bangka Belitung, Muhammad Ridwan, menyatakan, “Kurangnya tindakan tegas dari aparat menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa penambang ilegal ini mendapat dukungan dari oknum-oknum tertentu. Pemerintah dan aparat harus lebih serius dalam menangani masalah ini untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan melindungi lingkungan.”
Aktivitas tambang ilegal ini perlu ditindak tegas bukan hanya demi penegakan hukum, tetapi juga demi keselamatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Penambangan yang tidak terencana dan ilegal hanya akan membawa kerusakan jangka panjang yang sulit diperbaiki.
Pemerintah dan aparat harus bersinergi untuk memberantas praktik-praktik ilegal ini demi terciptanya pertambangan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. (Dwi Frasetio KBO Babel)