JAKARTA jurnalsiber.com – Ternyata, aku pun salah menduga. Semula memang kukira urat malunya sudah putus, tapi ternyata dia memang tidak memiliki urat malu sama sekali. Jadi adat dan budaya tak perlu dibilang dan dirinci seperti lazimnya orang kebanyakan.
Republik ini jelas bukanlah negara kerajaan, tapi dia tambeng ingin menegakkan sistem monarki dengan cara mulai merebut kekuasaan secara turun temurun sekaligus menguasai sejumlah negeri dan memiliki negeri yang menjadi taklukkan dengan cara menjadikan daerah tersebut dikuasai okeh anak dan menantu bahkan saudara jauh dan saudara dejlkat atas ikatan perkawinan politik untuk menguasai wilayah atau instansi tertentu guna memuluskan ambisi kekuasaan. Boleh jadi pada periode selanjutnya — setelah diselang oleh penguasa lain — dia akan kembali naik tahta agar bisa berbuat sekehendak hati yang diinginkan oleh syahwat kekuasaannya yang belum terlampiaskan.
Kawan-kawan dari negeri tetangga banyak yang bertanya dalam nada mengejek, sungguhkah negeri kalian ingin kembali ke masa seabad sikam seperti era Majapahit atau Kerajaan Sriwijaya dan era kejayaan sebelumnya ?
Karena itu di berbagai wilayah san daerah mulai muncul embrio kerajaan-kerajaan.
Sehingga raja-raja kecil bermunculan dengan nama satu trah. Sementara kerajaan yang sesungguhnya masih ada segera dibuag punah, rata dengan dengan tanah. Dibuat tiada berdaya, karena memang hendak dan harus dimusnahkan agar bisa diganti dengan trah yang baru.
Maka itu sekarang semakin nyata dan jelas bahwa kecerdasan manusia hanya sekedar untuk memperdaya manusia yang lain, tanpa hirau dengan nilai kemanusiaannya yang mulia, seperti yang ditandai oleh etika, moral dan akhlak. Toh, hasrat untuk saling memperdaya dengan cara menggagahi orang lain sudah sedemikian norak dan vulgar dilakukan tanpa rasa risi, apalagi dengan rasa malu, setidaknya kepada dirinya sendiri.
Kerakusan dan ketamakan — tidak hanya sebatas harta dan benda — tetapi juga jauh melampaui kekuasaan dan ambisiusitas seperti yang diekspresikan dalam penguasaan lahan jutaan hektar dan teganya hasrat menggadaikan secara terang berderang beragam aset negara kepada siapa saja yang punya uang. Tak perduli bangsa asing seki pun, atau mereka yang punya ambisi untuk menjajah dengan cara paling mutakhir melalui penguasaan beragam jenis aset negeri kita.
Ambisi kekuasaan itu tampak terang dan jelas saat menjelang kampanye Pemilu serta hasrat untuk memenangkan kompetisi dengan cara apapun. Sehingga cara untuk memenangkan Pemilu, seakan boleh dilakukan dengan cara apapun, termasuk mengungkap keburukan lawan, bukan menampilkan visi dan misi yang seleras dengan cita-cita rakyat. Jadi jelas untuk bisa memenangkan Pemilu 2024 telah mereka siapkan segala cara yang harus dilakukan agar dapat segera diwujudkan untuk memenangkan pertarungan. Jadi semangat dan etos dalam Pemilu 2024 adalah pertarungan, bukan pesta demokrasi untuk mendapatkan sosok pemimpin yang terbaik, amanah dan berpihak kepada rakyat.
Tak lagi perlu janji-janji muluk, sebab semua sudah dapat diingat di luar kepala oleh setiap orang yang sudah jengah menelan janji-janji yang cuma akan menimbulkan kebohongan dan kemunafikan belaka. Mulai dari proses memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sudah sedemikian gaduh dan penuh rekayasa yang amat sangat memalukan, karena telah melanggar rambu konstitusi yang telah menjadi kesepakan bersama segenap warga bangsa untuk dipatuhi dan dihormati supaya tidak sampai terjadi bar-barian. Jadi bisa segera dibayangkan dalam situasi yang membuat kondisi demikian menegang pada tahap awal menuju pelaksanaan Pemilu 2024, lalu bagaimana kelak ketika sampai pada saatnya yang paling menentukan kemenangan atau kekalahan yang harus diterima.
Yang runyam dalam budaya demokrasi di Indonesia yang sangat diharap dapat selalu mengedepankan etika dan moral, justru abai terhadap nilai-nilai yang patut menjadi pijakan utama bersama itu. Apalagi dalam masyarakat rerlanjur adanya pameo, jika kalah dalam pertarungan itu artinya akan masuk penjara. Pemahman bawah sadar ini menjadi pertanda adanya kedadaran terhadap dendam yang terpendam. Lantaran sadar betapa banyaknya dosa yang telah dilakukan pada waktu-waktu sebelumnya dan sudah membuat banyak orang jadi sengsara dan tersiksa.
Pada akhirnya, atas dasar bayang-bayang kelam serupa itulah, sikap untuk memenangkan pemilihan umum harus dilakukan dengan segala cara, meski pada akhirnya pun terpaksa harus menciderai orang lain. Karena itu, kerentanan akan terjadi kegaduhan yang bisa menjadi kerusuhan pada Pemilu 2024 perlu diwaspadai dan diantosipasi bersama, jika memang tidak menginginkan kerusakan yang lebih padah. Karena diseberang sana, banyak pihak asing yang tengah mengintai untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan dan kegaduhan sesama ansk bangsa kita sendiri akibat ambidi yang tidak terkendali. Mereka tampak jelas ingin memanfaatkan situasi dan kondisi yang tidak menentu di negeri kita saat proses Pemilu sedang berlangsung. Kewaspadaan bersama segenap anak bangsa bisa pula luput seperti kendali dari aparat keamanan yang harus dsn wajin melindingi dan menjaga ketertiban dan kenyamanan rakyat. Karena Pemilu bagi kita bukan hanya untuk kemenangan, karena yang utama adalah keamanan dan kenyamanan bersama. (Penulis : Jacob Ereste/Dwi Frasetio KBO Babel)