Skandal Poligami, Narkotika, dan Suap: Kasus Empat Hakim yang Mengguncang Lembaga Kehakiman”

by -91 views

JAKARTA Jurnalsiber.com – Empat hakim di Indonesia harus merasakan pahitnya sanksi berat yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) setelah terbukti melanggar kode etik yang mengatur perilaku hakim. Kasus ini mencuat setelah MKH mengadakan sidang berdasarkan pelanggaran yang terjadi dari Januari 2022 hingga September 2023. Keempat hakim tersebut dipecat secara tidak hormat dan harus menanggung akibat perbuatan mereka yang melanggar kode etik berat.

Inisial pertama adalah MY, yang pertama-tama dihukum dengan pemberhentian tidak hormat. Sidang pertamanya berlangsung pada 24 Januari 2023, namun MY tidak hadir saat itu. Kemudian, sidangnya dilanjutkan pada 3 Februari 2023 secara hybrid, di Gedung Mahkamah Agung, dengan terlapor dan saksi yang dihadirkan di Pengadilan Agama Watampone. Hasil sidang adalah pemberhentian tidak hormat sebagai hukuman untuk MY.

Hakim kedua adalah DA, yang terlibat dalam kasus narkotika. DA terbukti mengonsumsi narkotika jenis sabu di ruang kerjanya. Pada 18 Juni 2023, MKH memutuskan untuk memberhentikan DA secara tidak hormat.

Hakim ketiga terkait dengan kasus suap dan gratifikasi yang kasusnya diusulkan oleh Mahkamah Agung. Hakim DS mengadili kasus ini, dan sidang MKH berlangsung pada 9 Agustus 2023. MKH mengambil keputusan untuk memberhentikan DS secara tidak hormat.

Terakhir, hakim keempat, HB, terlibat dalam kasus perselingkuhan yang terjadi pada 5 September 2023. HB dihukum dengan pemberhentian tetap dengan hak pensiun.

Selain empat hakim tersebut, Komisi Yudisial (KY) juga merekomendasikan sanksi untuk 45 hakim lainnya yang terbukti melanggar kode etik. Jenis pelanggaran kode etik tersebut sangat bervariasi. Di antaranya, terkait dengan memanipulasi fakta persidangan atau salinan putusan yang dilakukan oleh 12 hakim, bersikap tidak profesional yang dilakukan oleh 8 hakim, melakukan perselingkuhan oleh 4 hakim, dan menerima suap atau gratifikasi oleh 2 hakim.

Selain itu, jenis pelanggaran lainnya mencakup konflik kepentingan, penelantaran istri sah, melakukan pernikahan siri dan menelantarkannya, berkomunikasi atau bertemu dengan pihak yang tidak berperkara, tidak memberi akses kepada pelapor untuk bertemu anak, dan mengungkapkan informasi rahasia kepada pihak lain yang bukan pihak berperkara, serta melindungi hakim lain yang terbukti melakukan perselingkuhan.

Kasus Hakim MY

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Hakim MY atas tindakan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

MY dinyatakan melanggar kode etik karena melakukan poligami, tidak mengakui anaknya, tidak menafkahi anak dari pelapor, dan tidak memberikan contoh sebagai hakim senior. MKH menyatakan bahwa MY terbukti melanggar beberapa pasal dalam KEPPH, yang mencakup norma perilaku yang seharusnya dijunjung oleh seorang hakim.

Awal mula kasus ini berawal ketika Hakim MY masih bertugas di Pengadilan Agama (PA) Tulungagung, Jawa Timur. Saat itu, pelapor sedang mengurus perceraian dengan suaminya yang sebelumnya. Tidak sengaja, pelapor bertemu dengan MY dan bercerita mengenai masalah perceraiannya. MY lalu meminta kontak pelapor dan menawarkan untuk mengurus perkara tersebut.

MY diduga mengatur agar ia bisa menjadi anggota majelis dalam perkara pelapor. Selama persidangan, MY bahkan mengajak pelapor untuk menikah. Pelapor, yang ingin perceraiannya cepat diputuskan, akhirnya menyetujui usulan MY. Setelah putusan perceraian pelapor disetujui, MY dan pelapor menikah secara siri.

Dalam pembelaannya, MY mengakui bahwa dia bertemu dengan pelapor sebelum persidangan kasus perceraian itu secara tidak sengaja. MY juga mengaku pernah menolak menjadi anggota majelis hakim dalam kasus pelapor, tetapi akhirnya menerima permintaan Ketua Pengadilan Agama Tulungagung.

Dalam persidangan, MY juga mengakui bahwa ia mengajak pelapor menikah secara siri dan memiliki seorang anak dari hubungan tersebut. Setelah menikah resmi, MY memberitahukan kepada istri pertamanya tentang pernikahan keduanya dan meminta izin.

MY menyatakan bahwa setelah mendapat izin dari istri pertamanya, dia kemudian mengurus perizinan poligami di kantor dinas setempat dengan alasan istri pertamanya sedang sakit. Dengan izin ini, MY menikahi pelapor secara resmi.

Namun, pelapor melaporkan bahwa MY menghilang setelah satu hari dinikahi secara resmi dan tidak memenuhi janjinya sebelum menikah. Pelapor melaporkan perbuatan MY ke KY pada tahun 2021.

Kasus Hakim DA

Hakim DA dihukum dengan pemberhentian tidak hormat karena terbukti terlibat dalam penyalahgunaan narkotika jenis sabu. Putusan ini diambil oleh MKH setelah mengadakan sidang yang membongkar perbuatan DA bersama dua rekannya, YR yang berprofesi sebagai hakim dan RASS, seorang pegawai Pengadilan Negeri Rangkasbitung.

Mereka ditangkap oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) Serang di Gedung Pengad

ilan Negeri Rangkasbitung. Petugas BNN mengetahui hal ini setelah menguntit kurir paket yang mengirimkan sabu-sabu ke kantor mereka pada 17 Mei 2022.

Fakta persidangan menyebutkan bahwa ketiganya telah mengonsumsi sabu-sabu selama berbulan-bulan, bahkan di ruang kerja mereka di Pengadilan Negeri Rangkasbitung.

Sebagai informasi tambahan, terungkap bahwa DA pernah disanksi oleh Badan Pengawas (Bawas) MA dengan skorsing selama 2 tahun karena berselingkuh saat bertugas di Pengadilan Negeri Gianyar. Dalam kasus ini, DA terlibat hubungan dengan pegawai pengadilan dengan inisial C, yang juga merupakan istri hakim inisial P.

Kasus Hakim DS

Hakim DS terbukti menerima uang sebesar Rp 300 juta ketika mengadili perkara yang menjerat mantan wali kota Kediri, Samsul Ashar, di Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim DS dihukum dengan pemberhentian tidak hormat.

Kasus ini dimulai ketika DS menjadi ketua majelis hakim di PN Surabaya yang menyidangkan Samsul Ashar karena terlibat tindak pidana korupsi proyek pembangunan Jembatan Brawijaya di Kota Kediri pada tahun 2021. Samsul Ashar dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU), tetapi akhirnya dihukum 4 tahun 6 bulan penjara.

Kemudian, terungkap bahwa ada dugaan tindak pidana gratifikasi yang melibatkan hakim PN Surabaya IIH dan panitera pengganti MH dalam kasus Samsul Ashar. MH terlibat dalam dugaan tindak pidana gratifikasi saat menjadi panitera pengganti di PN Surabaya, yang kemudian menyeret nama hakim DS.

Dalam pembelaannya, hakim DS mengaku tidak berinisiatif untuk meminta uang gratifikasi tersebut. Uang tersebut juga dibagi dengan hakim anggota lain dan panitera pengganti MH.

DS mengklaim bahwa sebelum ada pemeriksaan dari BAWAS MA, uang tersebut sudah dikembalikan kepada Y, pengacara dari Samsul Ashar. Selama sidang MKH, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendampingi DS dan memberikan bukti keterangan serta surat.

Ada juga saksi yang memberikan kesaksian bahwa DS memang tidak berinisiatif menerima suap. DS telah meminta maaf kepada mantan istri dan mertuanya dan masih menjalin hubungan baik dengan anak-anaknya.

Kasus Hakim HB

Hakim HB dihukum dengan pemberhentian tetap dengan hak pensiun karena terbukti terlibat dalam perselingkuhan dengan seorang perempuan lain. Kasus ini terungkap ketika mertua HB menemukan perbuatan suaminya berselingkuh di sebuah hotel.

Anak perempuan mertua HB, yang juga merupakan istri sah HB, memilih jalur hukum dan melaporkan perbuatan mantan suaminya ke Polda Metro Jaya atas kasus perzinahan. Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan dan merekomendasikan pemberhentian dengan tidak hormat kepada HB.

Dalam pembelaannya, HB mengakui perselingkuhan tersebut. MKH memutuskan untuk memberhentikan HB dengan alasan bahwa perbuatan ini melanggar norma perilaku yang seharusnya dijunjung oleh seorang hakim, serta menjaga wibawa dan martabat lembaga peradilan dan profesi, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Keputusan ini diambil setelah majelis MKH melakukan musyawarah dan mempertimbangkan kesaksian, bukti keterangan, serta pembelaan yang disampaikan oleh HB selama sidang. Majelis MKH ini terdiri dari Hakim Agung Hamdi, Ibrahim, Muhammad Yunus Wahab, serta perwakilan KY, seperti Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah beserta Anggota KY M. Taufiq HZ, Sukma Violetta, dan Binziad Kadafi.

Selama sidang yang dilaksanakan secara tertutup, HB diberi kesempatan untuk membela diri. Namun, majelis MKH secara bulat memutuskan bahwa pembelaan HB tidak memadai dan bahwa perbuatannya melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Dengan dijatuhkannya sanksi berat kepada keempat hakim tersebut, diharapkan tindakan ini dapat menjadi preseden bagi hakim lainnya untuk menjunjung tinggi kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan tugas mereka. Sanksi tersebut juga diharapkan dapat memperkuat integritas dan kredibilitas sistem peradilan di Indonesia. (Sumber : Tribun, Penulis/Editor : Dwi Frasetio KBO Babel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.