Bangka Belitung, Jurnalsiber.com – Keberlanjutan aktivitas pertambangan timah di Bangka Belitung mengejutkan dunia dengan jumlah korban jiwa yang terus meningkat. Menurut data terbaru dari Walhi Bangka Belitung, sebanyak 83 orang telah tewas dalam insiden-insiden terkait tambang timah sejak tahun 2019 hingga 2023. Yang lebih mengkhawatirkan, jika menghitung sejak era pasca-reformasi pada tahun 1998, jumlah korban bisa mencapai ratusan orang.
Dalam statistik yang tak terbayangkan, 13 dari korban tersebut adalah anak-anak yang tewas setelah terjebak atau tenggelam di kulong atau lubang eks penambangan timah. Fakta ini menggambarkan betapa seriusnya situasi di wilayah ini, dengan masyarakat yang sepertinya kurang memiliki pengetahuan yang memadai dalam menambang timah dengan aman.
Walhi Babel menyoroti fakta bahwa pengetahuan mengenai penambangan timah yang diterapkan oleh pekerja tambang asal China di masa pemerintahan Hindia Belanda tidak berlanjut di bawah pemerintahan Indonesia. Selama dua generasi, masyarakat setempat dilarang untuk melakukan penambangan timah, yang berdampak pada hilangnya tradisi dan pengetahuan keselamatan kerja dalam menambang timah.
Selain tragedi kemanusiaan, aktivitas pertambangan timah juga telah merusak berbagai ekosistem di Bangka Belitung. Berdasarkan pemantauan Walhi Kepulauan Bangka Belitung, pertambangan timah telah menyebabkan kerusakan pada hutan, lahan basah (sungai, rawa, dan mangrove), serta laut beserta ekosistemnya. Sebagian besar luas wilayah provinsi ini, yakni sekitar 1,007 juta hektare dari total 8,1 juta hektare, telah diberikan izin untuk usaha pertambangan. Terdapat lebih dari 12.000 kulong (lubang eks tambang) dengan total luas mencapai 15.579,747 hektare.
Kerusakan ini juga merenggut habitat flora dan fauna yang beragam, termasuk mentilin, kukang, binturong, serta beberapa jenis pohon seperti pelawan, nyatoh, dan ulin. Dampak ekstensif ini juga mengakibatkan krisis air bersih dan penurunan populasi ikan, yang merupakan sumber pangan dan mata pencaharian utama bagi masyarakat setempat.
Jessix Amundian, direktur Walhi Provinsi Babel, menjelaskan, “Pemanasan global yang terjadi saat ini, bersama dampaknya seperti virus mematikan, kenaikan suhu global, kekeringan, dan banjir, mengancam provinsi ini. Dalam beberapa tahun ke depan, Babel yang terdiri dari 950 pulau bisa menghadapi krisis pangan dan air bersih.”
Menurut prediksi, puncak krisis iklim global akan terjadi pada tahun 2040, yang akan mengancam sekitar 860.330 jiwa penduduk di Kepulauan Bangka yang lahir antara tahun 1989 hingga 2022.
Walhi Provinsi Babel mendorong pemerintah untuk bertindak tegas dalam upaya menyelamatkan dan memulihkan lingkungan yang terancam akibat aktivitas pertambangan timah. Beberapa langkah yang disarankan adalah melakukan review terhadap kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) perusahaan tambang, mencabut izin usaha pertambangan yang dikeluarkan di wilayah yang dikelola oleh masyarakat, menerapkan moratorium izin, serta memperhatikan reklamasi dan pascatambang.
Jessix Amundian menegaskan, “Negara juga harus mengakui dan melindungi ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat adat beserta pengetahuan lokal mereka yang berkelanjutan terhadap alam. Pengakuan dan perlindungan ini sangat penting untuk keberlanjutan lingkungan dan keadilan ekologis.”
Situasi di Bangka Belitung menjadi sebuah peringatan tentang pentingnya menjaga ekosistem dan masyarakat yang bergantung padanya. Kepedulian terhadap lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tugas bersama kita untuk menjaga bumi yang menjadi rumah bagi semua makhluk hidup. (Publish; Dwi Frasetio KBO Babel)