Bangka Belitung, Jurnalisiber.com
Desa Batu Belubang, yang terletak di pesisir Pulau Bangka, kini menjadi sorotan setelah para nelayan bagan melaporkan hasil tangkapan ikan yang melimpah dalam beberapa hari terakhir. Sabtu (28/9/2024).
Namun, di balik keberhasilan ini tersimpan tantangan yang cukup berat bagi para nelayan dan pengolah ikan di desa tersebut. Terutama, jenis ikan teri atau ikan bilis menjadi komoditas utama yang mendominasi tangkapan mereka.
Pantauan media di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Batu Belubang menunjukkan tumpukan besar ikan teri yang belum diolah.
Biasanya, pada jam tersebut, ikan sudah habis terjual dan siap untuk diproses. Namun kali ini, para perebus ikan kewalahan dengan banyaknya hasil tangkapan yang terus berdatangan.
Kondisi ini membuat beberapa nelayan terpaksa menghentikan aktivitas melaut mereka.
“Biasanya kami melaut setiap hari, tetapi sekarang kami harus berhenti sejenak. Jika kami terus melaut, khawatir ikan yang ditangkap akan tidak laku, karena pasar sudah jenuh,” ungkap Pak Dirwan, salah satu nelayan setempat.
Menurutnya, jika hasil tangkapan terus mengalir tanpa pengolahan yang memadai, harga ikan bisa anjlok, merugikan mereka yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Sementara itu, para perebus ikan yang biasanya mengolah hasil tangkapan menjadi ikan kering atau ikan asin juga merasakan dampaknya.
IBu Sia, seorang perebus ikan, mengaku bahwa meski mereka bekerja nonstop, jumlah ikan yang datang tetap tak terkejar.
“Kapasitas kami terbatas, dan jika ikan tidak segera diolah, kualitasnya akan menurun,” keluhnya. Para perebus harus bekerja ekstra keras untuk memastikan ikan tetap layak jual.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap perekonomian desa.
Melimpahnya hasil tangkapan seharusnya menjadi berkah, tetapi jika tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai, bisa menjadi bencana.
Banyak pengusaha ikan mulai mencari pasar alternatif untuk menjual kelebihan hasil tangkapan mereka, baik ke daerah lain di Bangka Belitung maupun ke luar pulau.
“Jika situasi ini terus berlanjut, kami harus mencari solusi baru. Mengekspor hasil tangkapan mungkin menjadi pilihan. Namun, kami harus cepat bertindak sebelum pasar lokal benar-benar jenuh,” kata Pak Asis, pengelola perbusan ikan di Batu Belubang.
Di tengah tantangan ini, penting untuk mencari solusi jangka panjang. Peningkatan kapasitas infrastruktur pengolahan ikan di desa-desa nelayan seperti Batu Belubang menjadi sangat mendesak.
Harapan besar tertumpu pada pemerintah untuk memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan dan pembangunan fasilitas pengolahan yang lebih efisien.
“Pemerintah perlu membantu kami dalam meningkatkan pemasaran ikan dan menyediakan fasilitas pendingin. Dengan adanya cold storage, hasil tangkapan yang melimpah bisa disimpan lebih lama sebelum diolah atau dijual,” imbuh Pak Asis.
Selain itu, pengembangan akses pasar dan jaringan distribusi juga menjadi langkah penting untuk memastikan nelayan dapat menjual hasil tangkapan mereka ke pasar yang lebih luas.
Tanpa strategi ini, mereka akan terus terjebak dalam siklus ketergantungan pada pasar lokal yang mudah jenuh.
Kesimpulannya, meski melimpahnya hasil tangkapan di Desa Batu Belubang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para nelayan, tantangan yang dihadapi menunjukkan bahwa infrastruktur pengolahan dan pemasaran saat ini belum cukup untuk menangani lonjakan hasil tangkapan ini.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, nelayan, dan pengusaha lokal untuk menciptakan sistem yang lebih tangguh dalam menghadapi fluktuasi hasil tangkapan dan dinamika pasar.
Dengan kolaborasi yang baik, desa nelayan ini bisa menjadi model sukses dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, sehingga hasil tangkapan yang melimpah tidak hanya menjadi berkah sesaat, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat. (Indris/KBO Babel)