Jakarta Jurnalsiber.com – Ahli Hukum Margarito Kamis mempersoalkan keterangan satu orang yang dijadikan landasan untuk menetapkan Komisaris Independen PT. Wika Beton Dadan Tri Yudianto sebagai tersangka. Karena itu, ia menilai penetapan Dadan sebagai tersangka sangat janggal dan tidak dapat dibenarkan.
“Keterangan satu orang tidak dapat menentukan status hukum seseorang. Karena itu dipastikan bahwa keterangan itu tidak bersih dan tidak kokoh. Dari sisi administrasi hukum, menurut saya hal itu tidak mungkin,” jelas Margarito, Sabtu (24/6).
“Karena setiap tersangka, harus diperiksa dengan dasar perintah atau sprindik sendiri. Tidak bisa menggunakan sprindik orang lain,” imbuh Margarito.
Selain hal di atas, Margarito juga mengatakan jika dasar penetapan tersangka kepada mantan Komisaris Independen PT Wika Beton Dadan Tri Yudianto (DTY) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan Pasal 11 dan 12 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dinilai tidak tepat.
Pasalnya menurut Margarito, Dadan bukan masuk kualifikasi sebagai penyelenggara negara maupun pejabat yang memiliki fungsi strategis yang memiliki kaitan dengan negara sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Bila beliau (Dadan) dituduh dengan pasal 11 dan pasal 12 Undang-Undang Tipikor, menurut saya tidak tepat kalau sekali lagi beliau dituduh dengan pasal 11 dan atau 12 undang-undang Tipikor itu menurut saya tidak tepat,” tegas Margarito.
Margarito juga menjelaskan, PT Wika Beton merupakan salah satu anak perusahaan BUMN PT Wijaya Karya (Persero), dimana berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Margarito menyebut anak perusahaan tidak bisa dianggap sebagai BUMN. Sebagai komisaris di salah satu anak perusahaan BUMN, Dadan tidak bisa dijerat dengan pasal penyelenggara negara.
“Nah kalau mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi, saya lupa nomornya itu, sejauh yang saya ingat komut dan atau komisaris dari anak perusahaan BUMN itu tidak berkualifikasi sebagai penyelenggara negara,” paparnya.
“Itu sebabnya Pak Ma’ruf pada waktu itu kan komut dari Bank Syariah Mandiri yang merupakan anak perusahaan dari Bank Mandiri. Nah Pak Ma’ruf kan tidak dikualifikasikan sebagai penyelenggara negara dan oleh karena itu dia dianggap sah sebagai calon wakil presiden pada waktu itu,” sambungnya.
Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK resmi menahan Komisaris Independen PT. Wika Beton, Dadan tri Yudianto. Penahanan ini dilakukan, setelah Dadan menjalani pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Dadan ditetapkan tersangka bersama Sekretaris MA Hasbi Hasan. Namun, sampai saat ini pejabat di lingkungan lembaga kekuasaan kehakiman itu belum juga dijebloskan ke rumah tahanan.
“Untuk keperluan penyidikan, tim penyidik melakukan penahanan Rutan selama 20 hari pertama terhadap tersangka DTY, terhitung sejak tanggal 6 sampai dengan 25 Juni 2023 di Rutan Cabang KPK di Kavling C1,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (6/6).
KPK menduga, Dadan membantu pengurusan perkara debitur koperasi simpan pinjam (KSP) Heryanto Tanaka dan Yosep Parera. Kepada keduanya, Dadan menyatakan siap membantu dan mengawasi pengurusan perkara di MA, asalkan ada fee suntikan dana.
Ghufron mengungkapkan, pada Maret 2022 Heryanto mengajak Dadan ke kantor Yosep Parera di Rumah Pancasila, Semarang Indah D16/5, Kota Semarang, Jawa Tengah. Dalam pertemuan itu, Dadan berinisiatif menelepon Hasbi Hasan dengan maksud untuk menitipkan perkara. “Saat bertemu di kantor YP, selanjutnya tersangka DTY berinisiatif menelpon menggunakan aplikasi whatsapp kepada tersangka HH dan menyampaikan kepada tersangka HH,” ujarnya.
“Ini pak ada yang mau minta tolong. Ini ada rekan saya orang Semarang sedang mengurus kasus di Mahkamah Agung’,” ungkap Ghufron.
Heryanto Tanaka menyerahkan uang senilai Rp 11,2 miliar dalam pengurusan perkara perdata di MA kepada Dadan. Penyerahan uang itu dilakukan sebanyak tujuh kali pemberian.
(Publish; Dwi Frasetio KBO Babel)