JAKARTA Jurnalsiber.com – Seorang advokat bernama Mochamad Adhi Tiawarma menggugat Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang syarat pengangkatan calon hakim Mahkamah Konstitusi (UU MK) ke MK.
Dalam permohonan yang diregister dengan nomor perkara 131/PUU-XXI/2023 itu, ia meminta agar pasal itu dinyatakan inkonstitusional dan syarat calon hakim konstitusi ditambah satu huruf, yakni “tidak terikat hubungan keluarga saudara atau semenda sampai derajat ketiga dengan presiden dan/atau anggota DPR”.
“Pada saat seorang hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga searah atau semenda sampai derajat ketiga dengan presiden dan/atau anggota DPR, hakim konstitusi tidak berada dalam situasi bebas melaksanakan fungsi yudisialnya, dan tidak independen dalam memeriksa, memutus, dan mengadili perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,” kata Adhi dalam permohonannya, dikutip situs resmi MK, Senin (30/10/2023
Menurut Adhi, meskipun MK mengadili norma, bukan perseorangan, namun jelas presiden dan DPR memiliki kepentingan atas undang-undang yang diadili. Menurut Pasal 20 ayat (2) dan (4) UUD 1945, setiap rancangan undang-undang dibahas dan disetujui bersama oleh presiden dan DPR. Undang-undang yang telah disetujui bersama juga disahkan oleh presiden.
“Presiden dan DPR dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi pihak yang akan mempertahankan agar undang-undang tidak dibatalkan oleh MK melalui uji materiil dan uji formil,” jelas Adhi.
Ia pun berpandangan, ketentuan saat ini yang tak mencantumkan larangan itu secara nyata dan jelas tidak selaras dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Beleid itu mengatur bahwa ketua majelis hakim dan hakim anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili. Perkara ini sudah memasuki tahapan sidang pemeriksaan pendahuluan pada 26 Oktober lalu.
Sebelumnya, isu politik dinasti di sekitar MK mencuat setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju putusan nomor 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek. Hingga kini, MK telah menerima belasan aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK). MKMK sendiri sudah dibentuk dan kini mulai bekerja, digawangi oleh Jimly Asshiddiqie (pendiri MK sekaligus perwakilan tokoh masyarakat), Bintan Saragih (eks anggota Dewan Etik MK), dan Wahiduddin Adams (hakim konstitusi aktif), guna mengusut dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam putusan nomor 90 itu.
Sarat Kepentingan Pribadi
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi [MK] praktisi hukum Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn mengatakan, putusan MK sarat dengan kepentingan pribadi untuk menancapkan diri untuk melanggengkan kekuasaan. Keputusan MK tersebut, kata Suriyanto, sensitif dan beraroma politis sebab terkait dengan momentum Pilpres 2024 dan sarat akan konflik kepentingan.
Suriyanto menyebut, MK, sudah masuk dalam kepentingan politik, dan diduga kuat hal ini berkaitan erat dengan kepentingan anak Presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo yang hendak maju sebagai calon wakil presiden berdampingan dengan Prabowo Subiyanto, tetapi sempat terhalang syarat secara konstitusional karena faktor usia.
MK, kata Suriyanto, sudah merobohkan konstitusi dan merusak esensi demokrasi.
“ Putusan ini kontroversial karena pertama putusan ini dibuat dalam dinamika momentum pilpres 2024. Kedua, kuat dugaan berkaitan dengan kepentingan anak presiden dalam hal ini Gibran. Ketiga, yang lebih ironis lagi melibatkan pamannya Gibran yaitu ketua MK Anwar Usman. Mau dibawa kemana negara ini?” ungkap Suriyanto kepada strateginews.id, Selasa [31/10]
Suriyanto menduga, keputusan MK tersebut by order untuk kepentingan pihak tertentu.
“Sangat memprihatinkan. Saya menduga keputusan MK tersebut by order. Jangan sampai putusan tersebut menandai dugaan terjadinya perselingkuhan rezim dengan MK. Banyak yang berspekulasi, ada seseorang yang turut cawe-cawe memengaruhi putusan,” katanya.
Suriyanto menambahkan, putusan MK tersebut sudah mengelabuhi dan mempermainkan nasib rakyat.
“ Putusan itu sebagai bentuk mengakali konstitusi untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu yang akan berkontestasi di Pilpres 2024 mendatang. Ingat, jabatan hanya sementara, nanti pertanggung jawaban di akherat karena telah melukai hati rakyat,” pungkas Suriyanto. [jgd/Editor: Dwi Frasetio KBO Babel]