
Menghadapi paradoks sumber daya dan keselamatan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama puluhan tahun bergantung pada komoditas timah sebagai penggerak utama ekonomi daerah.
Sektor ini menyumbang sekitar 25–30% PDRB dan menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari seperlima tenaga kerja Babel (BPS, 2024). Namun, di balik kontribusinya, terdapat masalah serius terkait keselamatan dan kesejahteraan SDM pertambangan.
Sekitar 30.000 penambang rakyat (PETI) bekerja tanpa izin resmi maupun perlindungan sosial, sementara BPJS (2023) mencatat lebih dari 270 kasus kecelakaan kerja, sebagian besar di tambang rakyat.
Lemahnya pelatihan, budaya keselamatan, dan kompetensi teknis pekerja menunjukkan pentingnya penguatan manajemen SDM dan kebijakan perlindungan tenaga kerja di sektor pertambangan Babel.
Siapa yang bekerja di tambang timah? Data ketenagakerjaan dan informalitas
BPS Provinsi Bangka Belitung mencatat bahwa sektor pertambangan dan penggalian secara historis menjadi salah satu penyerap tenaga kerja di daerah ini, meski peranannya berfluktuasi mengikuti harga komoditas dan izin operasional perusahaan.
Laporan ketenagakerjaan terbaru menunjukkan adanya penurunan persentase tenaga kerja di sektor pertambangan pada periode tertentu, sementara pekerjaan informal tetap tinggi yaitu lebih dari separuh angkatan kerja bekerja di sektor informal pada Agustus 2024.
Kenyataan ini mengindikasikan proporsi besar pekerja tambang, terutama penambang rakyat beroperasi di luar skema formal ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan sosial dan jaminan keselamatan.
Informalitas punya konsekuensi langsung: pekerja informal sulit mengakses pelatihan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), asuransi kecelakaan kerja, dan akses pasar yang adil.
Banyak dari mereka beroperasi secara musiman, bergantung pada harga timah yang bergejolak. Ketika harga naik, partisipasi masyarakat dalam penambangan meningkat; saat menurun, aktivitas menyusut tetapi dampak lingkungan dan risiko keselamatan yang ditimbulkan tetap melekat.
Risiko keselamatan: angka kecelakaan yang mengkhawatirkan
Data dari lembaga swadaya dan media lokal menunjukkan angka kecelakaan yang serius dalam beberapa tahun terakhir.
Walhi Bangka Belitung melaporkan puluhan kasus kematian akibat kecelakaan tambang selama periode tertentu, misalnya 81 korban jiwa antara 2019–2023 menurut catatan mereka yang menyoroti tingkat risiko yang sangat tinggi bagi penambang, baik di operasi formal maupun PETI.
Selain itu, insiden-insiden terbaru yang diberitakan (kecelakaan longsor, celaka alat berat, serta evakuasi korban) mempertegas bahwa masalah keselamatan belum tuntas ditangani.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik, mereka mewakili keluarga yang kehilangan pencari nafkah dan komunitas yang terus hidup dalam ketidakpastian.
Penyebab kecelakaan bersifat multipel, seperti praktik penambangan yang tidak menerapkan standar teknis, minimnya pengawasan regulator di lapangan, penggunaan alat dan teknik berbahaya oleh penambang rakyat, serta kondisi lingkungan yang mudah longsor karena pembukaan lahan tanpa mitigasi.
Regulasi memang ada,seperti standar K3 pertambangan, tetapi implementasi di tingkat PETI sering lemah. Hal ini menuntut pendekatan yang menggabungkan penegakan hukum, edukasi, dan insentif untuk menata praktik penambangan menjadi lebih aman.
Upah, kesejahteraan, dan alternatif mata pencaharian
Sektor tambang memberikan peluang pendapatan, namun pola penghasilan penambang rakyat sering tidak stabil dan rentan dieksploitasi oleh tengkulak atau jaringan pemasaran ilegal.
Ketika tambang rakyat tidak diatur, harga jual bijih yang diterima penambang bisa jauh di bawah nilai pasar yang seharusnya, sementara biaya kesehatan akibat kecelakaan dan degradasi lingkungan jatuh pada komunitas lokal.
Di sisi lain, pekerja formal di perusahaan besar cenderung mendapatkan struktur upah, pelatihan, dan akses ke program K3, meski jumlah mereka tidak mencakup keseluruhan tenaga kerja tambang di Babel.
Untuk meningkatkan kesejahteraan SDM tambang, diperlukan program diversifikasi ekonomi lokal (mis. pelatihan keterampilan non-pertambangan), insentif untuk koperasi penambang formal, dan mekanisme pembelian bijih yang transparan (mis. pembelian oleh BUMD atau koperasi yang pernah diusulkan).
Kebijakan semacam ini tidak hanya mengurangi tekanan ekonomi yang mendorong penambangan ilegal, tetapi juga membuka jalan bagi transisi yang lebih aman dan berkelanjutan.
Peran perusahaan dan pemerintah: antara tanggung jawab sosial dan pengawasan
Perusahaan tambang besar, khususnya PT Timah Tbk, telah meluncurkan program keselamatan dan keberlanjutan (mis. program buday K3 dan Good Mining Practices).
Namun, peran perusahaan tidak bisa menggantikan peran regulator dan pemerintah daerah dalam menata tambang rakyat. Pemerintah pusat dan daerah perlu menyusun kebijakan yang realistis: menertibkan ilegalitas tanpa menghilangkan mata pencaharian, menyediakan jalur legalisasi PETI yang memenuhi standar K3, serta memperkuat pengawasan teknis dan lingkungan.
Pengalaman penutupan atau penertiban tambang ilegal oleh aparat menimbulkan dampak ekonomi jangka pendek pada komunitas jika tidak disertai kompensasi atau program alternatif. Oleh karena itu, penegakan hukum harus disertai rencana transisi sosial-ekonomi.
Baru-baru ini pernyataan politik dan tindakan penutupan ratusan hingga ribuan lokasi tambang ilegal mendapat perhatian nasional.
Tindakan ini penting untuk menegakkan aturan dan memulihkan kerugian negara, tetapi pelaksanaannya harus memperhatikan aspek sosial agar tidak menciptakan krisis pengangguran lokal. Kebijakan penindakan yang tegas tetap perlu dijalankan bersama program legalisasi dan pembinaan bagi penambang yang siap beralih ke praktik legal dan aman.
Rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki kondisi SDM pekerja tambang
Untuk memperbaiki kondisi sumber daya manusia (SDM) di sektor pertambangan timah, khususnya di kalangan penambang rakyat, diperlukan langkah kebijakan yang bersifat bertahap, inklusif, dan berorientasi keberlanjutan. Beberapa rekomendasi strategis yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1. Legalitas Bertahap dan Sertifikasi Penambang Rakyat (PETI)
Pemerintah daerah bersama Kementerian ESDM perlu mengembangkan skema legalisasi bertahap bagi penambang rakyat yang memenuhi standar keselamatan dasar dan kelayakan lingkungan. Melalui sertifikasi resmi, para penambang dapat memperoleh akses ke pasar formal, pembiayaan mikro, serta pendampingan teknis. Pendekatan ini sekaligus menjadi jembatan antara praktik tradisional dan sistem pertambangan yang berkelanjutan.
2. Pelatihan K3 dan Penguatan Kelembagaan Koperasi
Kolaborasi antara pemerintah daerah, PT Timah Tbk, lembaga pendidikan vokasi, dan organisasi masyarakat sipil perlu difokuskan pada program pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), manajemen usaha tambang rakyat, serta penggunaan peralatan yang lebih aman. Koperasi penambang dapat menjadi wadah utama untuk menyalurkan pelatihan, kredit usaha, serta pengawasan kolektif terhadap praktik penambangan yang bertanggung jawab.
3. Jaminan Sosial dan Asuransi Kecelakaan Mikro
Diperlukan mekanisme asuransi mikro yang menjangkau pekerja tambang informal agar risiko kecelakaan tidak menimbulkan beban sosial-ekonomi berat bagi keluarga. Program ini dapat dikembangkan dengan dukungan subsidi awal dari pemerintah daerah dan kemitraan dengan BPJS Ketenagakerjaan serta lembaga keuangan mikro.
4. Diversifikasi Ekonomi Lokal dan Pengembangan Keterampilan Alternatif
Untuk mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap timah, pemerintah daerah perlu menginvestasikan pelatihan keterampilan alternatif di sektor-sektor potensial seperti perikanan berkelanjutan, pariwisata berbasis alam, dan agribisnis modern. Langkah ini tidak hanya memperluas pilihan kerja, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat pasca-timah.
5. Pengawasan dan Penegakan yang Adil dan Partisipatif
Pemerintah harus memperkuat pengawasan teknis dan lingkungan di area pertambangan rakyat melalui pendekatan kolaboratif. Penegakan hukum terhadap praktik ilegal hendaknya diimbangi dengan program transisi sosial-ekonomi bagi penambang yang terdampak, agar kebijakan penertiban tidak menimbulkan ketimpangan baru.
Simpulan — Manusia di balik bijih: prioritas pada keselamatan dan keadilan
Persoalan tambang timah di Bangka Belitung bukan semata soal eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga tentang nasib manusia yang menggantungkan hidup pada pekerjaan berisiko tinggi dan kerap berlangsung di ruang informal tanpa perlindungan memadai.
Data ketenagakerjaan dan keselamatan menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap sektor tambang sering dibayar mahal dengan tingginya angka kecelakaan dan kerentanan sosial. Mencari solusi yang adil dan berkelanjutan tidak bisa diserahkan pada satu pihak semata.
Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, komunitas lokal, dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci untuk menata ulang praktik pertambangan agar lebih aman dan manusiawi.
Prioritas kebijakan harus diarahkan pada perlindungan dan pemberdayaan SDM melalui legalisasi bertanggung jawab, pelatihan keselamatan kerja (K3), perluasan jaminan sosial, serta pengembangan alternatif ekonomi lokal.
Dengan demikian, pembangunan di sektor tambang tidak lagi mengorbankan keselamatan dan martabat manusia demi keuntungan jangka pendek, melainkan menjadi jalan menuju keadilan sosial dan keberlanjutan yang sejati.

