JURNALSIBER,COM.(JAKARTA)Kerentanan pekerja pers – khusunya yang untuk jurnalis yang memburu dan membuat berita — sungguh sangat memprihatinkan.
Intimidasi, ancaman hingga tindak kekerasan terhadap insan pers — jurnalis — saat menunaikan pekerjaannya sebagai pewarta masih kerap terjadi bahkan cenderung meningkat dan brutal. Ini semua mengindikasikan demokrasi dan pelaksanaan hukum di Indonesia belum berjalan baik. Apalagi perlakuan itu dominan dilakukan oleh aparat pemerintah, atau para penegak hukum itu sendiri.
Bahkan, tak jarang iming-iming pun harus disikapi dengan tegar supaya tidak sampai khianat pada nilai kemuliaan pekerja pers untuk ikut menjaga dan menjadi kontrol sosial serta ambil peran dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perlakuan semacam tersebut diatas terhadap insan pers — utamanya bagi pekerja media online — tampak semakin kerap terjadi. Bagi meteka yang merasa terusik pekerjaan maupun aktivitasnya, tak sedikit yang menanggapinya dengan tindak kekerasan.
Yang runyam, banyak pelaku yang melakukan tindak kekerasan terhadap insan pers ini dominan tidak dapat diproses dengan layak dan patut. Apalagi kemudian masalah persengketaannya justru berhadapan dengan pihak aparat pemerintah atau para penegak hukum.
Laporan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, setidaknya mencatat pada tahun 2020 jenis kekerasan terhadap jurnalis didominasi kekerasan fisik sebanyak 15 kasus. Pada tahun 2021 sebanyak 7 kasus, disusul pula teror dan intimidasi yang mendominasi sebanyak 9 kasus ditahun 2021 hingga mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya berjumlah 4 kasus. Sedangkan tindak kekerasan terhadap jurnalis hingga April 2022 yang tercatat sebanyak 9 kasus.
Tapi pada tahun 2016 sempat mencapai 81 kasus dibanding tahun sebelumnya (2015) berjumlah 42 kasus.
Berdasarkan pelaku, Tempo.Co mencatat tahun 2021 dominan dilakukan aparat penegak hukum sebanyak 12 kasus. Tindak kekerasan dari orang yang tidak dikenal sebanyak 10 kasus. Tindak kekerasan dari aparat pemerintah sebanyak 8 kasus, dari warga sebanyak 4 kasus dan dari pekerja profesional sebanyak 3 kasus.
Perlindungan dari UU Pers No. 40 Tahun 1999 maupun Dewan Pers tampaknya tidak sama sekali dapat diandalkan. Mengingat dari sejumlah pengalaman kawan-kawan pers menghadapi masalah yang merundung itu, seperti tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Karena itu, insan pers sendiri yang harus membekali diri dengan segenap kemampuan maupun keahlian yang diperlukan, termasuk ilmu dan kemahiran membela diri. Setidaknya, dalam kondisi terpaksa dan tersudut, kemampuan dasar-dasar dari ilmu bela diri dasar sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan diri.
Jadi insan pers itu sungguh perlu mempunyai multi talenta — tak wawasan dan perbendaharaan ilmu pengetahuan serta keahlian semata — tapi wawasan interdisiplin ketrampilan bela diri patut juga dimiliki. Sehingga untuk meminimalisir intimidasi, ancaman hingga tindak kekerasan yang tidak terduga hingga ketangguhan hati untuk tidak tergiur pada iming-iming yang juga tidak kalah galaknya sebagai ancaman bagi pekerja profesi jurnalis sudah harus dipersiapkan sejak awal, meski terpaksa dengan cara yang bertahap. Bila tidak, kelanggengan kerja pada profesi yang cukup banyak tantangan dan rintangannya ini tidak akan bertahan lama. Apalagi hendak ditekuni sepanjang hayat.
Hanya dengan begitu, insan pers yang tangguh mampu bertahan — tidak pula sampai tergelincir — mengkhianati profesi yang boleh dibilang suci ini Banten, 15 Januari 2023